Sabtu, 09 Juni 2012

Gadjah Mada Puasa Wanita dan Harta Demi Kejayaan Nusantara

Patung yg menggambarkan
wajah Gadjah Mada.
 id.wikipedia.org

Setiapa warga Negara Indonesia pasti sudah mengenal nama Gajah MadaMada ini terkenal dengan sumpah palapahnya. Ini dari sumpah tersebut adalah ia akan berpuasa dari segala kenikmatan duniawi sebelum nusantara belum dapat dipersatukan. Yang tak pernah disebutkan adalah sebenarnya dalam pengertian ini adalah puasa untuk tidak berdekatan dengan wanita.

Mahapatih Gadjah yang wafat pada tahun 1364 adalah seorang panglima perang dan tokoh yang sangat berpengaruh pada zaman Kerajaan Majapahit. Menurut berbagai sumber mitologi, kitab, dan prasasti dari zaman Jawa Kuno, ia memulai kariernya tahun 1313, dan semakin menanjak setelah peristiwa pemberontakan Rai Kuti pada masa pemerintahan Sri Jayanegara, yang mengangkatnya sebagai Patih.


Ia menjadi Mahapatih  masa Ratu Tribhuwanatunggadewi, dan kemudian sebagai Amangkubhumi (Perdana Menteri) yang mengantarkan Majapahit ke puncak kejayaannya. Meskipun ia salah satu tokoh sentral saat itu, sangat sedikit catatan-catatan sejarah yang ditemukan mengenai dirinya. Wajah sesungguhnya dari tokoh Gajah Mada, saat ini masih kontroversial. Pada masa sekarang, Indonesia telah menetapkan Gajah Mada sebagai salah satu Pahlawan Nasional dan merupakan simbol nasionalisme dan persatuan Nusantara.

Tidak ada informasi tertulis tetnang awal kehidupannya, kecuali bahwa ia dilahirkan sebagai seorang rakyat biasa. Ia mengawali karirnya sebagai prajurit kerajaan dan kemudian naik pangkat menjadi Begelen atau setingkat kepala pasukan Bhayangkara pada Raja Jayanagara (1309-1328).

Ada sumber yang menyebutkan bahwa Gajah Mada pada waktu lahirnya bernama Mada sedangkan nama Gajah Mada kemungkinan merupakan nama sejak menjabat sebagai patih.  Dalam pupuh Désawarnana atau Nāgarakṛtāgama karya Prapanca yang ditemukan saat penyerangan Istana Tjakranagara di Pulau Lombok pada tahun 1894 disebutkan bahwa Gajah Mada merupakan patih dari Kerajaan Daha dan kemudian menjadi patih Kerajaan Janggala. Ini  membuatnya masuk kedalam strata sosial elitis pada saat itu. Gajah Mada digambarkan memiliki karakter "mengesankan, berbicara dengan tajam atau tegas, jujur dan tulus ikhlas serta berpikiran sehat".

Menurut Pararaton, Gajah Mada sebagai komandan pasukan khusus Bhayangkara berhasil memadamkan Pemberontakan Ra Kuti, dan menyelamatkan Prabu Bhayangkara (1309-1328, putra Raden Wijaya dari Dara Petak. Selanjutnya di tahun 1319 ia diangkat sebagai Patih Kahuripan, dan dua tahun kemudian ia diangkat sebagai Patih Kediri.

Pada tahun 1329, Patih Majapahit yakni Aryo Tadah (Mpu Krewes) mengundurkan diri dari jabatannya dan menunjuk Patih Gajah Mada dari Kediri sebagai penggantinya. Patih Gajah Mada sendiri tak langsung menyetujui, tetapi ia ingin menunjukan prestasi dulu pada Majapahit dengan menaklukka Keta dan Sadeng yang saat itu sedang memberontak. Keta dan Sadeng pun akhirnya dapat ditaklukan. Akhirnya, pada tahun 1334, Gajah Mada diangkat menjadi Mahapatih secara resmi oleh Ratu Tribhuwanatunggadewi (1328-1351). Sang ratu memerintah Majapahit setelah terbunuhnya Jayanagara.

Sumpah Palapa
Saat diangkat sebagai patih Amangkubhumi pada tahun 1258 Saka (1336) Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa. Isinya adalah bahwa ia akan menikmati palapa atau rempah-rempah (yang diartikan kenikmatan duniawi) bila telah berhasil menaklukkan Nusantara. Sebagaimana tercatat dalam kitab Pararaaton dalam Bahasa indonesianya berbunyi sebagai berikut:

“Beliau, Gajah Mada sebagai patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa, Gajah Mada berkata bahwa bila telah mengalahkan (menguasai) Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa, bila telah mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa.”

Lalu kenapa pula Gadjah Mada berpuasa wanita. Ini tidak terdapat dalam sumber resmi sejarah, tapi berasal dari reka-reka sebuah novel yang bercerita tentang Mahapatih Gadjah Mada itu, Gajah Mada: Hamukti Palapa karya Langit Kresna Hadi. Berikut penggalannya:

“Perempuan adalah sumber kelemahan bagiku, Paman! Yang jika aku layani, akan menjadi penghambat semua gerak langkahku. Ke depan, aku tak ingin terganggu oleh hal sekecil apapun. Padahal, ke depan, Majapahit membutuhkan para lelaki perkasa, membutuhkan laki-laki yang tangguh, tidak takut darah tumpah dari tubuhnya, dibutuhkan laki-laki pilih tanding yang berani berkorban dan tidak terikat oleh waktu”. 

Bagaimana seorang laki-laki bisa bebas dan berani meluaskan wilayah Majapahit, yang untuk keperluan itu mungkin harus dengan pergi bertahun-tahun jika ia terikat oleh seorang isteri, terikat oleh anak atau keluarga. “Bagaimana aku bisa mewujudkan semua impianku itu jika aku terganggu makhluk perempuan bernama isteri, yang merengek merajuk. Isteri atau perempuan bagiku tidak ubahnya rasa lapar dan haus yang harus dilawan.”

Walaupun ada sejumlah pendapat yang meragukan sumpahnya, Gajah Mada berhasil menaklukkan Nusantara. Dimulai dengan penaklukan ke daerah Swarnnabhuni (Sumatera) tahun 1339, pulau Bintan, Tumasik (sekarang Singapura), Semenanjung Malaya, kemudian pada tahun 1343 bersama dengan Arya Damar menaklukan Bedahulu (di Bali) dan kemudian penaklukan Lombok, dan sejumlah negeri di Kalimantan seperti Kapuas, Katingan, Sampit, Kotalingga (Tanjunglingga), Kotawaringin,  Sambas, Lawai, Kendawangan, Landak, Samadang, Tirem, Sedu, Brunei,  Kalka,  Saludung, Sulu, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung, Tanjung Kutei, dan Malano.

Pada zaman pemerintahan Prabu Hayam Wuruk (1350-1389) yang menggantikan Tribhuwana-tunggadewi, Gajah Mada terus melakukan penaklukan ke wilayah timur seperti Logajah, Gurun, Sukun,  Taliwang,  Sapi,  Gunungapi,  Seram,  Hutankadali,  Sasak,  Bantayan, Luwu, Buton, Banggai, Kunir,  Galiyan, Salayar, Sumba, muar (Saparua), solor, bima, Wandan (Banda), Ambon, Wanin, Seran, Timor, dan Dompo.

Ada dua wilayah di Pulau Jawa yang seharusnya terbebas dari invasi Majapahit yakni Pulau Madura dan Kerajaan Sunda karena kedua wilayah ini mempunyai keterkaitan erat dengan Raden Wijaya, pendiri Kerajaan Majapahit.

Namun kemudian terjadi Perang Bubat (1357) antara Kerajaan Sunda dengan Mojopahit sehingga perkecualian itu tidak terjadi. Ceritanya bermula saat Prabu Hayam Wuruk mulai melakukan langkah-langkah diplomasi dengan hendak menikahi Dyah Pitaloka putri Sunda sebagai permaisuri. Lamaran Prabu Hayam Wuruk diterima pihak Kerajaan Sunda, dan rombongan besar Kerajaan Sunda datang ke Majapahit untuk melangsungkan pernikahan agung itu.

Gajah Mada yang menginginkan Sunda takluk, menginginkan Dyah Pitaloka sebagai persembahan pengakuan kekuasaan Majapahit. Akibat penolakan pihak Sunda mengenai hal ini, terjadilah pertempuran tidak seimbang antara pasukan Majapahit dan rombongan Sunda di Bubat. Bubat adalah tempat penginapan rombongan Sunda. Dyah Pitaloka bunuh diri setelah ayah dan seluruh rombongannya gugur dalam pertempuran. Akibat peristiwa itu langkah-langkah diplomasi Hayam Wuruk gagal dan Gajah Mada dinonaktifkan dari jabatannya karena dipandang lebih menginginkan pencapaiannya dengan jalan melakukan invasi militer padahal hal ini tidak boleh dilakukan.

Dalam Nagarakertagama diceritakan hal yang sedikit berbeda. Dikatakan bahwa Hayam Wuruk sangat menghargai Gajah Mada sebagai Mahamantri Agung yang wira, bijaksana, serta setia berbakti kepada negara. Sang raja menganugerahkan dukuh "Madakaripura" yang berpemandangan indah di Tongas Probolinggo, kepada Gajah Mada. Terdapat pendapat yang menyatakan bahwa pada 1359, Gajah Mada diangkat kembali sebagai patih; hanya saja ia memerintah dari Madakaripura.

Dalam serat Kakawin Negarakertagama diceritakan bahwa sekembalinya Hayam Wuruk dari upacara keagamaan di Simping, ia menjumpai Gajah Mada dalam keadaan sakit. Gajah Mada disebutkan meninggal dunia pada tahun 1286 Saka atau 1364 Masehi.

Raja Hayam Wuruk kehilangan orang yang sangat diandalkan dalam memerintah kerajaan. Ia pun pun mengadakan sidang Dewan Sapta Prabu untuk memutuskan pengganti Gajah Mada. Namun tidak ada satu pun yang sanggup menggantikan Patih Gajah Mada. Hayam Wuruk kemudian memilih empat Mahamantri Agung dibawah pimpinan Punala Tanding untuk membantunya dalam menyelenggarakan segala urusan negara. Namun hal itu tidak berlangsung lama. Mereka pun digantikan oleh dua orang mentri yaitu Gajah Enggon dan Gajah Manguri. Akhirnya Hayam Wuruk memutuskan untuk mengangkat Gajah Enggon sebagai Patih Mangkubumi menggantikan posisi Gajah Mada.
http://blog.galihsatria.com/2008/05/27/wanita-di-mata-mahapatih-gajah-mada/

Tidak ada komentar:

Recent Post

Artikel Paling Banyak Dibaca Sepanjang Waktu